PERMATA GBKP

renungan PERMATA GBKP

renungan: 22 Oktober 2023

menerjang bahaya

By aan christian pranata purba

Pada tahun 1892, seorang penderita kolera secara tidak sengaja menularkan penyakitnya melalui aliran Sungai Elbe di Hamburg, Jerman, ke seluruh pasokan air negeri itu. Hanya dalam beberapa minggu, sepuluh ribu warga meninggal dunia. Delapan tahun sebelumnya, Robert Koch, ahli mikrobiologi asal Jerman, sudah menemukan bahwa kolera ditularkan melalui air. Penemuan Koch tersebut mendorong para pejabat di kota-kota besar Eropa untuk berinvestasi dalam sistem penyaringan yang akan melindungi air di kota mereka. Namun, pemerintah kota Hamburg tidak melakukan apa-apa. Dengan alasan biaya dan ketidakpercayaan pada penemuan tadi, mereka mengabaikan peringatan-peringatan yang sangat jelas sementara bencana terus mengancam warga kota mereka.

Kitab Amsal banyak berbicara tentang orang-orang yang menyadari masalah tetapi menolak untuk bertindak. “Orang bijaksana menghindar apabila melihat bahaya” (27:12 bis). Ketika Allah memampukan kita untuk melihat bahaya di depan, sudah semestinya kita mengambil tindakan untuk mengatasi bahaya tersebut. Berbalik arah adalah salah satu langkah yang bijak. Kita juga dapat menyiapkan diri dengan mengambil langkah-langkah pencegahan yang Dia sediakan. Yang jelas, kita melakukan sesuatu. Sungguh tidak masuk akal apabila kita tidak melakukan apa-apa. Namun, bisa saja kita luput menangkap tanda-tanda peringatan dan terus maju menerjang bahaya. “Orang bodoh berjalan terus lalu tertimpa malapetaka” (ay.12 bis).

Di dalam Kitab Suci dan lewat kehidupan Yesus, Allah menunjukkan jalan yang harus kita ambil dan memperingatkan kita tentang masalah yang akan kita hadapi. Orang bodoh akan nekat meluncur menuju bahaya. Akan tetapi, saat Dia memimpin kita dengan kasih karunia-Nya, kiranya kita mengindahkan hikmat-Nya dan berbalik arah. —Winn Collier

WAWASAN
Dalam Amsal 1, Salomo menyatakan tujuan kitab ini, antara lain “menerima didikan yang menjadikan pandai” dan “memberikan kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman [atau lugu]” (ay. 3-4). Menjadi cerdas atau pandai berarti bertindak atau berpikir dengan melihat masa depan, atau bijaksana dalam menghadapi masalah sehari-hari. Dalam Perjanjian Lama, kata cerdas dipakai bergantian dengan berakal budi, bijak, cerdik. Orang pandai “menahan bibirnya” (10:19), “mengabaikan cemooh”(12:16), “menyembunyikan pengetahuannya” (ay. 23), dan “bertindak dengan pengetahuan” (13:16). Sebaliknya, orang bodoh “menyatakan sakit hatinya seketika itu juga” (12:16) dan “menyeru-nyerukan kebodohan” (ay. 23), dan “membeberkan kebodohan” (13:16). Terlebih lagi, orang bijak “memperhatikan langkahnya” (14:15), dan “bermahkotakan pengetahuan” (ay. 18), sedangkan orang yang lugu “percaya kepada setiap perkataan” (ay. 15) dan “mendapat kebodohan” (ay. 18). Jelaslah bahwa jalan hidup orang pandai dituntun oleh hikmat. —Alyson Kieda

renungan: 21 Oktober 2023

di dalam taman

By aan christian pranata purba

Baca: Kejadian 2:8-9; 3:16-19

Ayah saya senang berada di alam terbuka untuk berkemah, memancing, dan berburu bebatuan. Ia juga senang bekerja di pekarangan dan kebun, meski hal itu membutuhkan kerja keras! Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memangkas, mencangkul, menanam benih atau bunga, mencabuti rumput liar, memotong rumput, serta menyirami pekarangan dan kebunnya. Hasilnya memang sepadan—halaman rumput yang rapi, tomat yang segar, dan mawar yang cantik. Setiap tahun Ayah memangkas tanaman mawar sampai pendek mendekati tanah, dan setiap tahun juga tanaman bunga itu akan tumbuh kembali—memenuhi indra dengan aroma dan keindahannya.

Dalam Kitab Kejadian, kita membaca tentang Taman Eden tempat Adam dan Hawa tinggal, bertumbuh, dan melangkah bersama Allah. Di sana, Allah “menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya” (Kej. 2:9). Saya membayangkan taman yang sempurna itu juga memiliki bunga-bunga yang indah dan harum—bahkan mungkin mawar tanpa duri!

Setelah Adam dan Hawa memberontak terhadap Allah, mereka diusir dari taman dan harus menanam serta merawat taman mereka sendiri. Itu berarti mereka harus mengusahakan tanah yang keras, bersusah payah mengenyahkan duri, dan menghadapi beragam tantangan lainnya (3:17-19,23-24). Namun, Allah terus memelihara mereka (ay.21). Dia juga tidak meninggalkan umat manusia tanpa keindahan ciptaan yang dapat menarik kita kepada-Nya (Rm. 1:20). Bunga-bunga di taman menjadi lambang pengharapan dan penghiburan yang mengingatkan kita akan kasih dan janji Allah yang terus berlaku bagi ciptaan yang diperbarui-Nya! —Alyson Kieda

WAWASAN
Gambaran taman dalam Kejadian 2–3, yang mencakup “pohon kehidupan” (2:9; 3:22,24), mempersiapkan para pembaca Alkitab untuk penggunaan istilah tersebut di bagian-bagian lain dari Kitab Suci. Orang yang memakan buah dari pohon yang unik dan memberi hidup itu tidak akan mati (3:22). Dalam Kitab Amsal, ungkapan tersebut dipakai secara metafora: “[Hikmat] menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya” (3:18); “Hasil orang benar adalah pohon kehidupan” (11:30); “Lidah lembut adalah pohon kehidupan” (15:4). Dalam Kitab Wahyu (22:2,14,19), kita melihat keberadaan orang percaya kelak di tempat serupa taman Eden. Suatu kehidupan indah seperti di taman tersebut sungguh-sungguh menanti umat Allah. —Arthur Jackson